[RP]Municipal Factory

―Masukan kernyitan disini.

Orang sering melakukannya bila tengah kebingungan. Pemuda ini juga. Sejak kapan ia mengeluarkan kalimat tantangan dari mulutnya? Aneh. Mungkin hujan asam telah menyusup masuk telinga mereka dan menyebabkan sedikit gangguan. Halo? ―ia serius. Bukan bermaksud menghindar dari medan pertarungan, sih. Jangan sekali-kali anggap ia pengecut, karena kenyataannya memang tidak ada satupun yang berkata hendak melawan Tuan ketua. Ah. Jangan-jangan, semua jadi sensitif gegara suasana tadi yang sempat memburuk. Persepsi bagus, lumayan untuk dijadikan pedoman sementara. Lagipula ada bukti; pemuda ini tumben-tumben merasa kesal dan marah. Sabar itu butuh perjuangan, ya? Sering muncul tanda tanya soal hal ini; mengapa dia yang harus berperan jadi orang―disisi―baik? Kalau boleh bilang, jujur saja, sifat asli pemuda ini bisa dibilang agak rebel dan keras kepala. Begitulah. Mort.

Tuan pemimpin sudah berdiri dihadapanya. Tongkat kebanggaan di tangan, siap menyerang kapan saja. Sedangkan ia yang dimaksud malah diam seperti patung, tidak menggubris tindakan sang bocah sama sekali. Wajahnya masih cemberut (karena ia mempertahankannya setengah mati). Kau tahu―emosi. 'Tenang' adalah kunci untuk bisa meredakannya. Tenang, yeah. Cobalah menenangkan diri.

Sebuah desahan kecil keluar dari mulutnya, seraya memaksakan wajah untuk kembali datar tak berekspreksi. Hooray~metode menghilangkan amarah berhasil. Sekarang, tinggal mengurusi tuan muda yang―entah mengapa―terlihat menggebu-gebu.Bukan hal mudah, sepertinya. Dan lagi, ia harus ekstra hati-hati karena anak muda masa kini gampang ngamuk.
“Bagian mana dari kalimatku yang bilang soal ingin melawanmu, bocah?”, tukasnya dalam nada rendah, tepat menuju sang bocah. Tapi tidak masalah sih, kalau Rolly memang ingin berlatih dengan Nemu. Hanya saja―kau tahu―buang buang waktu. Nemu yakin tak akan bisa bertahan lebih dari lima menit. Ia bukan petarung spesialis garis depan, sayangnya. Apalagi kalau satu lawan satu seperti ini. Kekalahannya sudah dapat dipastikan. Namun, lain soal jika ternyata Rolly memakai metode `Team Battle`.

“Oh. Tadi kau tanyakan pendapatku? Lakukan pertarungan beregu sekarang. Itu argumen-ku, jika tidak mau―simpan komplain untuk nanti”, keluar dari topik? Tidak masalah. Subjek kali ini kan... latihan.

Senyum abadi, lengkungan asimetris manis yang tak pernah terlepas dari bingkai porselen sang gadis. Apa, Monsieur—berlagak sok mengerti dengan apa yang dipikirkannya? Lucu. Pemuda yang seperti ini menjadi ketua kelompok ini. Dieu. Sesungguhnya sang gadis tidak ada masalah sama sekali dengan hal itu. Namun, maaf saja, jangan sekali-sekali sok-mengenalinya—berlagak mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, mengetahui isi hatinya. Merde. Daripada mengurusi orang lain, tidakkah lebih baik kau urusi saja dirimu sendiri untuk tidak mengeluh, Chef.

Dan—mph, kebodohan—si-vampire-murni ini—yang diragukan statusnya.

Pardon me, Lady. Bukan masalah murni atau tidaknya statusmu, lihatlah kualitasmu, sayang. Bagaimana seseorang, oke vampire, memiliki kualitas diri sementara memanggil nama seseorang saja dia-memilih-dan-kau tahu, sekali lagi, sok dekat. Mungkin makhluk itu memang berdarah murni seorang vampire—yang tidak dididik dengan baik. Kualitas jeblok, poor you, chéri. Vampire-darah-murni yang bertindak jika diperintah, tidak memiliki pendirian, eh. Berpikirlah dahulu sebelum berbicara, tidakkah kau pernah diajarkan oleh keluargamu ‘itu’—dan persetan dengan keluarga darah murni.

“Apa lidahmu tidak bisa mengucapkan nama seseorang dengan benar, Milady?” Nyanyinya tenang dengan kesan ceria dan anggun yang tak lepas dari tiap katanya.



Seperti biasa, lama-lama segala omelan dan racauan di sekelilingnya hanya sebagai alunan blekok angin lalu, adaptasi tidak begitu sulit baginya—easy-going. Sudahkah ia mengatakannya.

Dan, Monsieur, jangan samakan Marion dengan mereka, bisakah? Ia-bukan-robot. Tidak pernah ada memori jika ia selalu menuruti perintah, sama sekali, dan maaf saja—pribadinya bebas. Sebebas nyawa sang gadis yang sejak entah kapan, tidak pernah ada. Arogan—kearoganan dan ego yang dimiliki sang gadis masih terlalu besar untuk bisa diperintah. Tidak semua orang dengan jumawa bisa menitah Marion untuk melakukan ini-itu—kalau bisa kau saja yang disuruh-suruh oleh Marion, mph.



Manik hazel madunya mengerling, menatap pintu, meski tidak ada apa-apa disana—suara langkah kaki, atau bahkan aroma tubuhnya. Menunggu, sementara membiarkan mereka—orang-orang Municipal—yang berniat untuk berlatih pergi. Tidak tertarik. Adu fisik, berkelas, sangat. Tidak ada yang mau dibuatnya berlari-lari mengejar sang gadis, ‘kan. Lagipula menonton itu jauh lebih menyenangkan.

Terlebih jika ada salah satu diantara mereka terluka parah—masih jauh lebih baik dari kehilangan nyawa alih-alih berkurangnya anggota tempat ini. Tahu ‘kan, kenapa.

---

OOC: kalo ada yang kurang jelas/bingung silakan Y!M/PM saya <3

...

Rolly memasang tampang datarnya... yah wajah malas tepatnya. "Mereka ini orang-orang yang sulit dimengerti," sang pemimpin yang hanya bisa bergumam dalam hati.

Kemudian terdiam, mengembalikan bentuk tongkat unreal-nya menjadi mini size dan menghela nafas setelah mendengar pendapat dari Nemui. "Akhirnya bicara juga... tapi kurasa itu ide bagus. Jadi siapa yang mau berkelompok dengan siapa?" Rolly berhenti berbicara, melihat beberapa orang di sekitarnya.

"Bocah vampire itu bisa satu tim denganmu, 'orang tua' dan Nona Sword Master itu bisa denganku. Yah... itu kalau mereka setuju." Ia menysun sebuah tim, ini adalah pola pikirnya, setidaknya dengan tim seperti ini kekuatan mereka akan lebih seimbang.

Nanase kuat dalam penyerangan dan Nemui ahli dalam spiritualist. Begitu juga dengan tim walau tingkat kekuatan spiritual Onmyouji dan Wizard bisa dibilang sama tapi energi sihir Rolly jauh lebih besar, namun fisiknya yang lemah tidak akan bisa bertahan lama jadi baik diimbangi dengan kemampuan fisik Reina.

Ini hanya pemikiran singkatnya, sampai ia melihat Marion... yaah Vampire yang jalan pemikirannya cukup rumit, menurut Rolly sendiri. "Hanya berniat menonton saja Nona Vampire?" tanyanya singkat.

"Anu,"ujar seseorang, selain mereka.

"Atas. Di atas."ujarnya lagi, seakan memprediksi reaksi orang-orang dibawahnya, mencari-cari sumber suaranya.

"Saya orang baru disini. Shikarazawa Kishinami. Boleh saya bergabung?"tanyanya, sambil berdiri 180 derajat berlawanan arah dengan mereka yang ada di bawah : ia menjejakkan kakinya di langit-langit ruangan tersebut.

"Apa saya mengganggu?"tanyanya lagi, dengan nada dan raut wajah yang sama datarnya.

Rolly menengadahkan kepalanya, mencari sumber suara... ia nampak mengenal suara ini, tidak begitu kenal hanya saja terdengar familiar. Begitu melihat langit-langit benar saja seseorang tengah bergantung di sana.

"Hm... ninja, seorang fighter juga... jarang terlihat..." sebuah komentar pendek yang menunjukkan bagaimana cara berpikirnya.

"Turunlah kalau mau bergabung," sebuah perintah. "Mungkin tambahan ninja dalam permainan ini bisa sedikit jadi menarik," lanjut sang pemimpin yang tengah memikirkan sesuatu.

"Baik."

Suara TAP menggema kecil di ruangan tersebut. Kishinami berdiri tegap dan berjalan ke arah mereka. Ia meraih bagian dalam jubahnya dan menarik keluar dua belah pedang kembarnya. Setelah melempar pandang sopan ke masing-masing anggota, Kishinami diam. Menunggu akan respon, yang ternyata tidak muncul-muncul juga. Ia menghela nafas, pelan.

"Apa keheningan ini adalah tanda kalau aku boleh menyerang duluan?"tanyanya datar.

"Semua orang bebas menyerang siapa saja," Rolly kembali berbicara... "Kita pakai sistem bebas menyerang saja, aturan kelompok terlalu sulit jika pesertanya bertambah," dan ia mengganti sistem pertarungannya.

Kemudian menyiapkan kembali tongkat sihir yang sebenarnya tidak berfungsi sebagai apapun. "Tapi ada peraturannya," perkataan sang pemimpin kali ini menghentikan segala gerakan di tempat itu. "Tidak boleh membunuh, membuat luka berat, merusak ruangan, dan..." ucapannya terhenti selagi ia mengacungkan telunjuknya. "Ah sudah, itu saja. Ingat ini hanya latihan."

"Ah, tentu saja, tentu. Tidak boleh membunuh dan menyebabkan luka berat ya?"tanya Kishinami acuh tak acuh, sambil menyarungkan kembali pedangnya ke dalam mantelnya.

Kibaran mantel Kishinami langsung menyeruak ke samping Rolly, sementara ia sendiri sudah mengambil ancang-ancang untuk melontarkan tumbukan dari punggung tangannya ke arah leher sang leader.

"Kalau begitu, cukup dengan tangan kosong."kakinya menendang lantai untuk mempercepat serangannya, berharap targetnya tidak sempat menyadari serangannya tersebut.

Terlalu tenang... itulah yang terjadi pada Rolly, ia memang tidak punya pertahanan yang kuat apalagi dengan kemampuan fisik yang lemah dan serangan yang tidak begitu bagus. Akan tetapi walau banyak kekurangannya, ia memiliki satu kelebihan, magic defense untuk menggunakan seluruh energi spiritual di sekelilingnya.

Serangan Kishinami memang hampir mengenainya beberapa inci lagi, hanya saja kecepatan serangan itu tidak diimbangi dengan ketepatan yang begitu unggul. Sebelum tumbukan terjadi Rolly memasang barier dari udara di sekelilingnya, kemudian melompat menghindari serangan.

"Kenapa tidak pakai pedangmu saja, kau kira aku tidak bisa bermain pedang?" ucapnya masih melayang dalam pusaran udara. "Coba lihat ini," kemudian Rolly mengacungkan tongkat sihirnya yang seketika berubah menjadi sebilah pedang.

"Solar, fire!" ia lalu mengibaskan pedang itu ke arah Kishinami bersamaan dengan munculnya lidah api dari ujung pedangnya yang siap menyerang.

Kishinami menaikkan alisnya sedikit.Hadou #31 kah...batinnya. Ia pernah melihat sihir seperti ini sebelumnya di tempat asalnya. Bunyi kibaran jubahnya menandakan ia berhasil menghindari serangan Rolly.

"....Seperti yang kuharapkan dari ketua. Anda hebat,"puji Kishinami, walau tanpa perubahan ekspresi yang signifikan. Tangannya meraih kembali salah satu pedang yang ada di balik jubahnya,"Maafkan ketidaksopananku tadi. Sekarang, semangatku sudah lebih terbaka--"ucapnya, tanpa melanjutkan.

Bau kain yang terbakar menusuk hidung Kishinami. Saat ia melirik ke arah punggungnya, percikan api mulai terlihat membesar.Ia mengalihkan pandangannya kembali ke arah Rolly.

"....Juga jubahku. Terbakar."lanjutnya bodoh.

“Tepat seperti apa yang Anda katakan, Chef.” Ujarnya kalem dan sopan sebelum membalas anggukan seorang Ninja—khas Jepang, eh—dengan senyum abadi sang gadis.

Tubuh mungilnya bergerak ringan, mendapati sebuah kursi di dalam ruangan dan memilih untuk menonton dari sana. Sayang sekali, tidak boleh ada luka berat bahkan merusak ruangan, alih-alih akan jauh lebih seru untuk ditonton jika ada sedikit kekacauan di dalamnya. Manik kembar hazel madunya memerhatikan Rolly, sang Leader, dengan Kishinami—beruntung ingatan dan pendengarannya tidak sejelek apa yang manusia punya—yang sedang bermain-main. Andai ada sesuatu yang menyenangkan, dan semenarik tadi, tentu akan diladeninya. Permainan yang menyenangkan, permainan kesukaan sang gadis bersama Iris.

Beralih pada Nemui dan dua gadis lainnya, tidakkah mereka ingin memulai? Mungkin, dua lawan satu—tidak adil eh? Oh, bagaimana dengan Vampire-darah-murni tadi melawan Reina dan Nemui.

"Aku bisa ganti itu," komentar Rolly singkat ketika melihat apinya membakar jubah kebesaran Municipal yang dipakai oleh Kishinami.

"Jadi... kenapa kau tidak pakai pedangmu, bukankah pedang melawan pedang itu seimbang?" tawarnya kemudian, agaknya ia lebih suka permainan berpedang yang dulu pernah diajarkan gurunya walau ia seorang Wizard.

Dan... "Nona Vampire anda benar-benar tidak ingin bergabung? Dua lawan satu tidak masalah untukku," lanjutnya lagi bersiap untuk serangan selanjutnya.

Sungguh jarang mendengar kata setuju dari mulut Tuan pemimpin. Apakah hari ini sedang baik baginya, atau barangkali dapat ilham untuk menghormati orang lain? Yang manapun itu, ia patut bersyukur. Perihal siapa mencetus pembagian kubu, tentu si bocah. Tak masalah, lakukan apa saja yang kau mau. Tapi belum sempat mulai, terjun Tuan Ninja yang lantas menyulut pertarungan dengan Tuan ―yang disebut sebelumnya. Seorang pemuda berambut hijau hanya mengukir lengkung pendek diwajahnya―sebagai respon pantas atas salam sopan dari Ninja itu.

Berseling satu kedipan mata saja, mereka―si bocah dan si ninja―sudah mulai bergelut. Keduanya sama-sama bertumpu pada senjata panjang. Tidak seperti pemuda ini; yang hanya mengandalkan potongan kertas bergambar―kadang buatan tangan―yang normal dimiliki para pendeta Jepang. Pedang, tongkat, bom, pisau, atau pistol―ia kurang pandai dengan hal macam begitu. Papa Rune dan Mama Ame mengajarkan banyak hal padanya, tapi tidak tentang senjata―apapun. Terlepas dari situ, Nemu―pemuda yang dimaksud―diam-diam mendalami dunia panahan. Tapi dasar tak teliti, set perlengkapan panah miliknya tertinggal saat hendak menjejaki Tokyo. Sudah lama tak dipakai, jadilah Nemu kembali lupa caranya. Sesudahnya―bukan merenung bagaimana mendapatkan benda itu kembali―malah dipusingkan hal azimat koin emas yang ia lekatkan di atas batang panahnya.
―Konyol.

Bola mata zamrud-nya kembali mengalih pada arena ruang berlatih. Kali ini memilih objek seorang wanita penghisap darah―bukan bocah―yang bersimpuh manis di atas kursi dalam ruangan. Apa kau mau cerita soal `mengapa nona itu tidak ikut berlatih` kepada Nemu? Tidak mungkin Rolly membuat pengecualian peserta dalam acara seperti sekarang―tapi mungkin juga, sih. Dan apapun alasannya, Nemu tetap penasaran.

“Nona, sedang sakit -kah? Padahal aku harap semua ikut,” tuturnya dengan nada oktaf yang cukup tinggi, tidak dibuat-buat. Nemu melipat tangannya didepan dada, sambil menunggu jawaban dari Nona Vampire ini.

"Kalau kau berharap semua ikut, kenapa masih diam saja di situ, orang tua?" tiba-tiba saja Rolly memotong atau lebih tepat mengomentari pertanyaan dari Nemui yang ditujukan untuk Marion.

"Bukankah tuan Omyouji juga punya bakat pertarungan dengan spiritual energi? Siapa tau bisa mengalahkanku," sifat arogannya keluar. Siapapun tahu yang namanya ketua pasti memiliki kemampuan paling hebat, tapi begitulah... Rolly nampak suka menantang orang untuk mengalahkannya.

Tidakkah satu kata tidak—yang dilontarkannya dengan kiasan sopan—tidak cukup untuk menjelaskan jika ia tidak akan ikut?

Tidak banyak hal yang sanggup mengubah pemikirannya dengan cepat—tidak banyak, kecuali jika ia memang ingin saat itu juga, atau instruksi melalui instingnya sendiri. Salah satu kakinya diletakkan di atas kakinya yang lain, dengan tangan kanan menopang dagu pualamnya, tersenyum manis. “Tidak, Chef.”

Kaca hazel terangnya mengerling pada Nemui—pemuda dengan manik kaca yang sama dengan warna rambut bayamnya. Déjà vu? Itu perihal lain. “Baru kudengar seorang yang tidak bernyawa sakit, Nemui, kecuali jika aku dalam keadaan dahaga, mungkin.” Tawanya renyah berkumandang sebelum sang gadis menggidik kepada Rolly—“Chef menantangmu. Tidakkah itu menarik perhatian?”

Percaya diri eh, Chef.

"Dan sepertinya pertarungan macam ini tidak menantuang untuk Nona Vampire ya, kecuali mungkin bertarung dengan sesama vampire," komentar pendek Rolly yang tengah memperhatikan percakapan Nemui dan Marion.

"Lagipula kalau tidak berminat kenapa harus memaksa... kecuali bagi yang memberikan ide ini," lanjutnya lagi, sedikit melirik Nemui dan Nanase.

Kishinami yang baru saja berhasil memadamkan api yang berkobar di jubahnya--dan meninggalkan bolong besar di bagian punggung, hanya terdiam mendengar komentar dari Rolly. Ia menatap gagang pedang yang terselip rapi dibalik jubahnya. Senyum tipis tersungging di pinggir bibir Kishinami dalam sepersekian detik.

"Saya... Masih belum bisa mengendalikan tenaga saya,"jawab Kishinami, walau ia tak mengharapkan respon dari yang lain karena suaranya yang lirih.

TAP.

TAP.

"Bukan maksud saya untuk meremehkan Anda, tentu, Rolly-san,"jelas Kishinami dari balik punggung Rolly, entah sejak kapan,"Tapi saya akan tetap menyarungkan pedang saya, saat ini,"lanjutnya seraya mengayunkan kaki kirinya ke arah kepala sang pemimpin grup gedung pemerintahan Tokyo.

Setidaknya ucapan Kishinami membuat Rolly menghela nafasnya, "Haah padahal aku lebih suka bertarung menggunakan pedang daripada tongkat bodoh begini," menanggapi ucapan Namu kemudian Rolly mengembalikan bentuk pedangnya menjadi tongkat.

"Baiklah, kita gunakan tangan kosong saja." Dan lagi... sekarang ia melempar tongkat yang dianggapnya merepotkan ke ujung ruangan. Sebenarnya energi spiritual itu memang tidak berasal dari sebuah tongkat.

Jawaban yang manis. Dan akan lebih bagus jika Tuan ketua tidak ikut mengomentari. Bila kau memang sengaja ingin buat pemuda ini kesal--maka kau berhasil. Bukannya emosi, sih--tapi bisa jadi begitu bila diteruskan. "Begini kau sebut diam? Ah--bocah, sampai segitunya kau mau melawanku, eh? Oke, tapi aku tidak se-sembarangan itu untuk menyelip diantara pertarungan kalian," Nemu berkelakar panjang, seraya menunjuk kedua pemuda di tempat itu. Kalimatnya tadi bukan mengelak--walau mungkin sebagian orang mengira begitu--melainkan serius berpikiran tidak mau menganggu. Lagipula jika Tuan Ninja tidak ada, Nemu tak mau maju sendirian. Ia perlu--paling tidak--seorang lagi. Pengecut, eh? Bukan. Jelas, bukan. Seluruh skill yang ia kuasai--membutuhkan media. TAPI persepsi 'seorang Nemui tidak bisa apa-apa bila sendiri' tentu salah. Dia masih punya akal berstrategi, paling tidak.

"Oh, aku mengerti," sahutnya pada lafalan Nona Vampire yang lalu. Lantas ia sadar satu hal; rupanya salah telah bertanya pada Nona itu. Jawaban tanpa alasan, bukan seperti yang pemuda ini harapkan. Tapi biarlah, orang-orang disini--sepertinya--bukan tipe yang asyik diajak berdebat. Lihat saja Rolly, jika kau ajak dia beragumen-- tidak akan pernah selesai-- karena ia terus saja berputar-putar. Nanase? Nemu tidak begitu tahu, karena jarang berpapar dengannya--gadis kecil itu terlalu sedikit omong.

Hm.... bicara soal Nanase, kemana dia? Biasanya selalu ribut sendiri--tapi sekarang....ah--sekarang juga ada disini, namun hanya diam. Hari ini tidak normal. Semua berubah, sepertinya. Mungkin benar kata Rolly-- suhunya sedang panas--sehinga banyak yang bad-mood (walau Nemu masih tetap pada pendiriannya, udara sekarang dingin).

Sepasang bola hijau di cekungan wajahnya berputar kesamping--mendapati sosok anak kecil berambut gelap. Sedang nganggur, eh? Kenapa tidak coba jadi korban media-penggunaan-skill-Nemu saja? Itu dia, ide bagus. Tidak masalah jika nanti Nona kecil itu marah, toh tinggal minta maaf. Tenang saja, Nemu tidak akan macam-macam pada-mu! Cuma sekedar mengendalikan syaraf-syaraf anggota tubuhmu, dan kau jadi boneka hidup seutuhnya. Setuju? Harus. Setuju.

"Nona, boleh aku minta tolong? Sebentar saja. Tidak akan sakit, kok...", ujar Nemu, sembari mengeluarkan selembar kertas mantra lusuh dari balik jubahnya. Tanpa diberi aba-aba, ia menempelkan kertas--senjatanya--itu di punggung Nona Vampire kecil. No Offenese. Mau tahu peraturannya? Baik. Kertas yang Nemu tempelkan tidak bisa dilepas--kecuali bila ia sendiri yang menghendaki. Lantas? Lihat saja sendiri.

Konsentrasi terpusat pada satu titik, Nemu memulainya-- salah satu kelebihan menjadi Onmyouji; bisa mengendalikan makhluk hidup. Dan ia sedang melakukannya sekarang. Terbayang gerakan tubuh yang ia inginkan, melesat dengan kecepatan dominan seorang Vampir--tepatnya lurus ke arah Tuan pemimpin. Tangan kecil itu terangkat ke-atas, menunjukkan kuku-kuku tersembunyi yang--kau tahu--cukup tajam untuk mengoyak lehermu. Dengan target sama; Rolly.

---

GodMod, udah diizinin sama PM-nya Nanase =))

Senyuman skeptik timbul di wajahnya yang pucat-- senyum palsu. Hatinya berkata lain, kau tahu? Dan lihatlah, Nanase sudah bisa melafalkan nama Nona Vampir dengan baik dan benar--sesuai dengan ejaan yang ia kehendaki. "Hm... M-A-R-I-O-N, begitu, nona?", ucapnya pelan sambil sesekali melirik dingin ke arah Marion. Yah, Nanase tidak terlalu memikirkan atau harus susah payah marah karena keluarga--yang--persetan--itu. Toh gadis vampire ini sangat benci ayahnya yang sekarang memimpin keluarga bodoh itu. Jika gadis vampire ini yang memimpin pasti sudah marah tak jelas. Seperti nya walaupun keluarganya seperti ini gadis vampire ini mendapatkan pelajaran dimana dia tidak boleh mengatakan sembarangan tentang keluarga seseorang walaupun itu di bawah derajatnya.

" bagaimana nona? tinggal membiasakan saja cukup kan?" sambil mendekati Rolly dan yang lainnya untuk siap-siap berlatih.

Mulutnya terkatup rapat, tidak menggubris seorang pendatang baru--Ninja. Ia hanya mengangkat sebelah alisnya saat mendengar bahwa latihan sekarang bertema team-battle. Entah beruntung atau tidak, Nanase dikelompokkan dengan Nemui, si orang tua. Oleh siapapun itu--tidak terlalu peduli--karena gadis ini lebih mementingkan acara bertarungnya. Persetan dengan aturan 'tidak-boleh-sampai-membunuh'-- sepertinya kali ini ia harus menahan dirinya, yep.

Nanase yang sedang memperhatikan Rolly dan Ninja itu berbicara, Nemu pun berjalan menghadap gadis ini, lalu " hm? ap--?" tiba-tiba Nanase merasakan yang aneh. Tubuh vampire kecil ini bergerak sendiri, ternyata Nemu memakai kekuatannya yang bisa mengendalikan makhluk hidup. Nanase yang setengah sadar ini tiba-tiba mengeluarkan sikap-sikap bertarungnya. Mata ungu yang berubah menjadi kuning keemasan ini langsung menyerang ke arah sang Leader Rolly.

Padahal Rolly belum puas bersikap arogan dengan melempar tongkat sihirnya, menganggap tongkat yang biasa dijadikan media bertahan itu tidak berguna, dan tentu kata-katanya yang menyebalkan. Tiba-tiba saja Nemui bertindak, oh... kalau menggunakan Nanase sebagai media penyerangan sama saja dengan dua Vice Leadernya bergabung menjadi satu --belum lagi si Ninja.

Serangan Nanase hampir telak mengenai si pemimpin. Setidaknya ia membiarkan tangan kanannya tergores sebelum memusatkan sihirnya pada tangan kiri untuk membuat sebuah pusaran angin yang kemudian dihempaskannya pada Nanase. Membuat vampire cilik itu terbanting cukup jauh.

"Hm... itu sedikit hebat," lagi-lagi hanya komentar pendek. Rolly terdiam sambil melihat luka gores di tangannya. "Mungkin benar, tongkat itu ada gunanya juga."

"Oho, tambah peminat ya?"komentar Kishinami setelah melihat serangan-serangan dari Nemui dan Nanase,"...Dan tampaknya mereka cukup kuat,"ujarnya lebih lirih.

"Kukira manusia dan vampir tidak sekuat kami,"gumamnya lirih, walau masih dapat terdengar oleh Rolly, yang ada di depannya sekarang;Kishinami lagi-lagi melakukan gerakan cepat, menyelinap ke belakang Rolly,"Maafkan aku,"

Sebuah tendangan, sekali lagi, dilayangkan ke arah kepala sang pemimpin, namun ternyata itu hanya jebakan utnuk membuat Rolly fokus ke tendangan Kishinami. Pada celah itulah, ia melakukan putaran, dan mengganti stance kakinya untuk menyapu jatuh kaki Rolly.

Serangan si Ninja terlalu cepat... bisa dibilang sangat cepat daripada apa yang Rolly duga. Sebuah tendangan ke arah kepala dan stance ke arah kaki... gerakan yang cukup bagus untuk menyerang seseorang dengan kepala batu.

Rolly terjatuh, setidaknya begitu yang terlihat sebelum ia menahan jatuhnya menggunakan satu tangan dan melompat di udara.

"Hebat!" komentarnya, sedikit antusias. "Ini saatnya menyerang" dengan cepat sebelum menyentuh tanah sang pemimpin kemudian menjentikkan jarinya, menembakkan sebuah serangan api pada sang Ninja.

"Lagi?"tanya Kishinami, seraya mengelak dari serangan api tersebut. Ia menghela nafas panjang, lalu mengarahkan jari telunjuk dan jari manisnya ke arah Rolly.

"Mata dibalas mata. Api dibalas api,"gumamnya. Sejentik api mulai membara, membentuk pusaran api kecil di ujung jari sang ninja,"Hadou #31, Shakkahou!"serunya. Pusaran api itu menggeliat liar sebelum melintasi ruangan, tepat ke arah sang pemimpin grup.

Sudut-sudut bibir merah jambu pucat mungilnya tertarik ke belakang, tidak pernah lelah untuk terus tersenyum. Sorot mata ramah terpancar begitu saja dari dalam manik madu terang sang gadis, menatap gadis bermulut ‘soak’ yang tampak belajar mengeja, berusaha meningkatkan kualitas otaknya dengan cara merangkak. Pintar. “Begitu jauh lebih bagus. Lebih beradab, Nanase.”—berhasil menahan tawa riangnya yang tersimpan di dalam. Terkunci rapat dalam balutan senyum abadi sang gadis.

Detik berikutnya bulir emasnya menangkap gerakan pemuda itu menggunakan entah-apa-itu-ilmu-nujum atau bukan—toh ia tidak peduli—pada Nanase. Meminjam tubuh Nanase untuk bertarung dengan Nemui sebagai otaknya. Dua orang vice-leader melawan Rolly yang juga tengah sparring dengan Kishinami.

Menarikkah?

—Entahlah.

Sang gadis mengenyakkan punggung dinginnya pada dinding kursi, benar-benar tampak tidak berniat untuk bergabung dengan pesta kecil yang ada dan hanya ingin untuk menonton. Apapun kondisinya. Menarilah dihadapannya. Hibur Marion dengan sesuatu yang bagus maka sang gadis akan bertepuk tangan setelahnya.



Sesekali sang gadis mengerjapkan kelopak matanya, menyembunyikan manik madunya meski itu tidaklah perlu dilakukan untuk suatu yang tak bernyawa, bersikap selayaknya kebiasaan manusia. Menutupi keimortalan instannya. Masih, meski begitu sang gadis menginginkan raga seorang manusia.